RANCANGAN KHOTBAH: BERLAKU ADIL BAGI SESAMA TANPA MENCARI KEUNTUNGAN (Imamat 25:35-55)

Gagasan Utama:

Allah adalah penebus maka umat Tuhan harus menolong orang yang jatuh miskin tanpa mencari keuntungan.

 

Tujuan yang akan dicapai:

Agar jemaat meneladani Kristus dengan hidup yang berbelas kasih dan berlaku adil dalam, tidak memeras dan mengambil keuntungan relasi dengan sesama.

 

Konteks saat itu:

Kitab Imamat berisi ketetapan yang diberikan Tuhan kepada umat Israel melalui agar umat hidup kudus. Pasal 1-16 mengatur kekudusan hidup dalam ibadah dan persembahan sedangkan pasal 17-27 mengatur kekudusan umat dalam hidup sehari – hari. Imamat 25:35-55 berbicara tentang bagaimana umat Israel harus memperlakukan sesama yang jatuh miskin, melindungi mereka dari penindasan, dan memberikan kesempatan untuk ditebus.

 

Kaitan dengan PB:

Imamat 25:35-55 bukan sekadar aturan sosial untuk Israel, tetapi menunjuk kepada karya penebusan Kristus: Yesus membebaskan kita dari perbudakan dosa, memulihkan martabat kita sebagai umat Allah, dan mengajarkan kita untuk memperlakukan sesama dengan kasih tanpa mencari keuntungan. Dalam Kristus, kita mengalami “Tahun Yobel” rohani—kebebasan, pemulihan, dan pengharapan akan pemulihan sempurna di Kerajaan Allah. Yesus Kristus adalah Penebus yang sejati, Yesus datang untuk menebus kita “bukan dengan perak atau emas, tetapi dengan darah-Nya yang mahal” (1 Petrus 1:18-19) sehingga kita menjadi hamba Allah.

 

Penjelasan Teks:

Ayat 35-38: Saling menyokong dengan tidak makan riba

Apabila ada diantara orang Israel yang jatuh miskin; kata “miskin” menggunakan kata מ֣וּךְ (mûk), yang berarti: menjadi lemah, jatuh, merosot, mengalami kemunduran ekonomi atau sosial serta kehilangan kemampuan menopang hidupnya sendiri. Jadi, miskin di sini bukan hanya tidak punya uang, tetapi keadaan di mana seseorang jatuh, tidak berdaya, dan tidak mampu bangkit tanpa bantuan orang lain. Kata “menyokong” berarti mendukung, menjaga agar tetap berdiri. Jadi, ketika seseorang jatuh miskin, Tuhan tidak ingin mereka dibiarkan terpuruk sendirian, tetapi ditolong supaya tetap bisa bertahan hidup dengan bermartabat. Yang diminta Allah bukan sekadar memberi sedekah sementara, melainkan memberi ruang hidup, kesempatan, dan dukungan agar orang miskin tetap dapat berjalan bersama dalam komunitas umat Allah. Dalam komunitas Israel, setiap orang adalah bagian dari umat pilihan. Membiarkan orang miskin hancur berarti mengabaikan ikatan perjanjian Allah, menyokong orang miskin berarti menghormati martabatnya sebagai saudara seiman. Saudara yang jatuh miskin disokong dengan tidak mengambil bunga uang atau riba. Istilah bunga uang menggunakan kata Ibrani: נֶשֶׁך (neshek), yang artinya gigitan atau sesuatu yang menggigit.Artinya bunga itu seperti gigitan yang menggerogoti orang miskin sedikit demi sedikit, membuat mereka semakin menderita. Sedangkan kata riba menggunakan kata: תַּרְבִּית (tarbit) atau מַרְבִּית (marbit), yang berarti pertambahan, kenaikan.” Jadi bunga uang /riba di sini adalah tambahan berlebihan yang dikenakan atas pinjaman yang membebani si peminjam. Dalam masyarakat agraris Israel, riba membuat orang miskin semakin tertindas karena mereka tidak mungkin membayar kembali. Tuhan melarang praktik ini karena memberi pinjaman kepada saudara bukanlah kesempatan mencari keuntungan, melainkan tindakan kasih untuk menyelamatkan kehidupannya. Frasa “takut akan Allahmu” menjadi dasar etis teologis: bila seseorang sungguh takut kepada Tuhan, ia tidak akan memperkaya diri dengan memeras orang yang sedang menderita. Larangan riba menunjukkan bahwa Allah membela orang miskin dari struktur ekonomi yang tidak adil. Orang miskin tidak boleh dijadikan alat bisnis atau objek untuk memperbesar harta orang kaya.

 

Ayat 39-46: Menyokong dengan tidak memperbudak

Jika ada orang Israel yang menjual dirinya karena miskin, ia tidak boleh diperlakukan seperti budak, tetapi seperti orang upahan. “Menjual dirinya” berarti seseorang terpaksa menjadi pekerja untuk melunasi hutang atau mempertahankan hidup. Kata budak menggunakan kata Ibrani  (ʿeved) yang berarti budak (dalam arti milik orang lain), hamba atau pelayan, dapat juga berarti hamba Tuhan (misalnya Musa disebut eved YHWH – hamba Tuhan). Kata ʿeved menekankan status ketergantungan atau pelayanan kepada tuan. Jika saudara sebangsa menjual dirinya karena miskin, ia tidak boleh diperlakukan seperti budak, tetapi seperti orang upahan. Kata orang upahan menggunakan kata Ibrani: שָׂכִיר (śākîr) yang berarti orang yang disewa atau diupah, pekerja yang menerima bayaran untuk jasanya, bisa digunakan untuk pekerja harian, mingguan, atau kontrak tertentu. “orang upahan” adalah pekerja yang bekerja secara sukarela dengan kompensasi yang jelas, bukan budak tanpa hak. Karena itu saudara yang jatuh miskin dan terpaksa bekerja pada saudaranya, ia harus diberi upah yang layak sesuai kerja, hak-haknya dihormati, statusnya sementara, akan bebas pada Tahun Yobel (Im. 25:40-41). Kemiskinan tidak boleh membuat seseorang kehilangan identitasnya sebagai umat Allah. Orang Israel tetap “saudara” dalam hubungan yang setara sebagai umat perjanjian. Allah juga menambahkan: “jangan memerintah mereka dengan kejam” (ay. 43). Artinya, otoritas majikan tidak boleh dipakai untuk menindas. Perbedaan antara “budak” dan “upahan” menunjukkan prinsip: kebebasan dan harga diri harus tetap dijaga, meski orang itu miskin.

 

Ayat 47-55: Penebusan budak

Orang Israel yang menjual diri kepada orang asing tetap dapat ditebus, dan jika tidak, dalam tahun Yobel akan membebaskannya atau kalau ia sudah mampu, ia dapat menebus dirinya sendiri dengan membuat perhitungan. Harga tebusan dihitung secara adil, proporsional dengan jumlah tahun yang tersisa hingga Tahun Yobel. Artinya, jika ia sudah bekerja lama, maka tebusannya lebih kecil; kalau baru sebentar, tebusannya lebih besar. Hal ini mencegah pemilik memeras pekerja, sekaligus memberi harapan nyata bahwa kebebasan itu bisa terjadi. Sistem perhitungan tebusan menghindari ketidakadilan dan eksploitasi. Ayat 55 adalah penegesan tentang otoritas Allah atas ketetapan tentang Tanah, Manusia dan Yobel. Tuhan mengingatkan asal-usul Israel bahwa dahulu mereka adalah budak Firaun yang ditindas. Tetapi mereka ditebus dan dibebaskan segingga menjadi hamba Allah. Tuhan adalah pemilik tanah, pemilik umat, dan sumber hukum keadilan. Umat Israel harus hidup sesuai identitasnya sebagai hamba Allah dengan berlaku adil dan penuh belas kasihan, sehingga nama Tuhan dimuliakan di tengah bangsa-bangsa.

 

Referensi lain dalam Alkitab:

Matius 25:40, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”

Roma 6:22: “Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan...”

Matius 7:12: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”

 

Ilustrasi:

ü Sebuah perusahaan mengetahui salah satu karyawannya mengalami bencana rumah kebakaran. Alih-alih memotong gajinya karena tidak masuk kerja, perusahaan memberi cuti darurat dengan gaji penuh dan menggalang dana untuk membangun rumahnya kembali. Tuhan ingin keadilan dan kebaikan dalam hubungan kerja — tidak memanfaatkan tenaga orang yang lemah, tetapi menolong mereka bangkit.

ü Grasi adalah pengampunan hukuman yang diberikan oleh kepala negara (di Indonesia: Presiden) kepada seseorang yang telah dijatuhi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Grasi tidak menghapuskan kesalahan pidana, tetapi meringankan atau menghapus hukuman yang dijatuhkan.

 

Aplikasi:

ü Tuhan adalah pemilik, penebus dan pembebas maka hidup sehari – hari umat Allah mesti mencerminkan kasih Kristus yang nyata dalam belas kasih, kemurahan hati dan keadilan tanpa eksploitasi terhadap sesama dan alam.

ü Gereja terpanggil untuk menciptakan komunitas yang memulihkan – menolong mereka yang “jatuh miskin” secara ekonomi atau rohani supaya bisa bangkit kembali.

ü Setiap orang adalah milik Tuhan, perlakukanlah dengan hormat. Dalam keluarga: jangan memanfaatkan kelemahan anggota keluarga untuk kepentingan pribadi. Dalam pekerjaan atau bisnis: jalankan usaha dengan adil. Jangan memperlakukan karyawan sebagai “budak modern.” Dalam pelayanan gereja: mari kita perhatikan jemaat yang lemah. Gereja seharusnya menjadi tempat penopangan, bukan tempat orang merasa semakin tertindas.

Dalam kehidupan sosial: ketika kita melihat orang jatuh miskin, jangan hanya berkata, “Kasihan ya,” tetapi lakukan sesuatu. Kita bisa membantu lewat dukungan finansial, membuka peluang kerja, atau sekadar hadir memberikan penguatan.

ü Jangan makan riba sebab kita telah ditebus Kristus dengan cuma – cuma. Jangan memperlakukan orang lain sebagai budak sebab kita yang telah diperbudak oleh dosa telah ditebus menjadi hamba Allah.

 

Penutup:

Tuhan menghendaki kita  menjadi persekutuan yang saling menopang, bukan saling menindas. Dunia memberi contoh untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, tetapi Kerajaan Allah memanggil kita untuk berlaku adil, menolong yang lemah, dan menjadi saluran berkat. Apakah relasi kita dengan sesama mencerminkan kasih Allah? Apakah kita sedang menolong orang lain keluar dari belenggu, atau justru menambah beban mereka? Biarlah firman Tuhan ini menggerakkan hati kita untuk hidup adil, berbelas kasihan, dan menjadi agen pembebasan di tengah dunia yang penuh ketidakadilan. Amin


 

 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "RANCANGAN KHOTBAH: BERLAKU ADIL BAGI SESAMA TANPA MENCARI KEUNTUNGAN (Imamat 25:35-55)"

Posting Komentar

Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.

ABOUT ME

Foto saya
Sorong, Papua Barat Daya, Indonesia
Menemukan PELANGI dalam hidup sendiri dan menjadi PELANGI di langit hidup sesama. Like and Subscribe my youtube channel: DEAR PELANGI CHANNEL

Iklan

Display

Inarticle

Infeed