KURBAN KESELAMATAN (Imamat 7:11-21)
Dalam Perjanjian Lama hubungan Allah dengan umat-Nya dituangkan dalam sejumlah peraturan, yang dikenal sebagai hukum Taurat. Ada 613 butir hukum Taurat yang harus dipatuhi dan dilakukan orang Israel untuk menjaga mereka sebagai umat Allah. Salah satu butir penting dalam hukum Taurat itu adalah mengenai persembahan-persembahan dan kurban-kurban yang harus dijalankan di hadapan Allah, salah satunya adalah kurban keselamatan sebagaimana disebutkan dalam bacaan kita hari ini, Imamat 7:11–21.
Kalau kita mencermati peraturan pelaksanaan kurban yang dicatat dalam Imamat 7:11–21 tersebut, maka terdapat prinsip dasar yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan kurban itu. Prinsip apa itu? Bahwa kurban itu harus kudus. Ada alasan mendasar mengapa kurban itu harus kudus. Kurban itu merupakan tanda syukur atas keselamatan dan pembebasan yang Allah kerjakan bagi bangsa Israel, karena itu kurban syukur tersebut dipahami sebagai kurban keselamatan yang harus dipersembahan bersama dengan roti tidak beragi, yang melambangkan kemurnian dan kehidupan baru dari umat yang sudah diselamatkan. Kekudusan dalam pelaksanaan kurban bukan hanya terkait dengan daging dan roti yang menjadi kurban itu harus kudus, tetapi orang yang makan kurban itu pun harus kudus. Perhatikan peringatan dalam ayat 19 dan 20. “Daging yang bersentuhan dengan sesuatu yang najis tidak boleh dimakan”. Jadi kurban itu harus bebas dari kenajisan, sebab kurban ini menggambarkan kekudusan umat yang sudah diselamatkan, dan sekaligus dipersembahkan kepada Allah yang kudus. Itulah sebabnya dalam ayat 20 diingatkan orang yang makan kurban keselamatan, tetapi ada dalam keadaan najis, maka dia harus dilenyapkan, sebab dia tidak layak menjadi bagian dari umat Allah. Jadi kurban itu tidak hanya sekedar merupakan ungkapan syukur, tetapi sekaligus menyatakan hubungan umat dengan Allah, dan hubungan ini harus berlangsung dalam kekudusan. Umat yang mempersembahkan kurban harus kudus, dan kurban yang dipersembahkan pun harus kudus.
Ini pelajaran penting bagi orang Kristen, khususnya bagi warga GKI. Dalam setiap ibadah minggu kita memberi persembahan. Persembahan yang kita berikan pada hakikatnya adalah sebuah ungkapan syukur atas keselamatan yang sudah Allah kerjakan di dalam Yesus Kristus. Orang Kristen memang tidak lagi memberi persembahan dan kurban sebagaimana dilakukan oleh orang Israel. Bukan saja karena peraturan-peraturan itu tidak mungkin kita lakukan, tetapi yang paling mendasar adalah bahwa kurban keselamatan itu telah mendapat kepenuhan dan kegenapannya di dalam Anak Domba Allah, Yesus Kristus, yang dikurbankan untuk penebusan dosa manusia. Di dalam Yesus Kristus yang telah mengurbankan diri-Nya sampai mati di kayu salib, kita diselamatkan, dikuduskan dan dibenarkan di hadirat Allah. Oleh sebab itu, kita pun patut menyatakan rasa syukur dengan memberi persembahan bukan saja dari hasil pekerjaan yang kita lakukan, tetapi juga dengan segenap kehidupan kita. Atau seperti yang dianjurkan Rasul Paulus kepada orang Kristen di Roma, “mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah” (Rm 12:1).
Persembahan yang kita berikan karena keselamatan di dalam Yesus Kristus patut dilakukan di dalam kebenaran dan kekudusan. Seperti kurban keselamatan yang diberikan orang Israel harus bebas dari kenajisan, begitu pula persembahan karena keselamatan di dalam Kristus harus bebas hari kejahatan. Bukan hanya persembahan yang kudus, tetapi setiap orang yang memberi persembahan patut hidup dalam kebenaran dan kekudusan. Karena itu, orang Kristen termasuk warga GKI sudah harus mengubah pola pikir dalam memberi persembahan, yaitu kita memberi persembahan bukan berdasarkan kehendak kita, melainkan karena kehendak Allah dan menjadi jawaban iman atas keselamatan yang Allah anugerahkan bagi kita. Kalau persembahan itu diberikan atas kehendak kita, maka ada kecenderungan “cari nama” sehingga jika persembahan dan nama tidak dibacakan dalam warta jemaat menjadi tersinggung. Memberi persembahan dengan cara seperti itu bukan untuk memuliakan Allah, melainkan mencari kehormatan bagi diri sendiri. Ini bentuk kenajisan dalam persembahan yang sudah harus di tinggalkan dan tidak boleh ada dalam GKI.
Kenajisan lain yang tidak boleh ada dalam gereja ini terkait dengan penyalahgunaan uang gereja untuk kepentingan di luar tugas panggilan gereja. Penyalahgunaan ini banyak terjadi dengan berbagai bentuknya. Mengapa ada penyalahgunaan uang gereja? Karena kita mengabaikan prinsip dasar kurban dan persembahan sebagaimana disebutkan dalam Imamat 7: 11 -21, yaitu kekudusan. Ketika kita mengabaikan prinsip dasar tersebut, maka kecenderungan penyalahgunaan uang gereja akan sangat menonjol dalam semua lingkup pelayanan gereja ini. GKI, sebagaimana dicatat dalam tata gereja, disebut sebagai gereja yang kudus. Oleh sebab itu, kehidupan gereja ini, termasuk pengelolaan persembahan, harus berlangsung dalam kebenaran dan kekudusan. Persembahan-persembahan yang diberikan merupakan wujud dari berkat-berkat Tuhan melalui berbagai profesi dan pekerjaan yang tidak bersentuhan dengan hal-hal yang najis. Dan setiap orang yang memberi persembahan pun menjalani hidup ini dalam kebenaran dan kekudusan. Marilah kita jalani hidup bergereja dalam GKI pada semua lingkup pelayanannya dalam kebenaran dan kekudusan, sebab GKI adalah gereja yang kudus. Marilah kita persembahkan segenap kehidupan kita sebagai persembahan yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Amin! (Penulis: Pdt. DR. Sostenes Sumihe, M. Th)
Belum ada Komentar untuk "KURBAN KESELAMATAN (Imamat 7:11-21)"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.