MEMBERI DENGAN KEMURAHAN HATI SEBAGAI BENTUK KEBERSAMAAN ( 2 Korintus 9:1-5)
Dalam kehidupan bermasyarakat saling membantu merupakan hal yang umum dilakukan. Ini menunjukkan bahwa dalam satu komunitas sosial, orang yang satu dengan yang lain saling peduli. Sekalipun demikian ada banyak alasan untuk membuat orang saling peduli dan saling membantu satu terhadap yang lain. Ada yang membantu orang lain karena merasa berutang, sebab di waktu yang lalu pernah menerima bantuan dari orang tertentu. Ada pula yang mau membantu dengan harapan kalau satu saat orang yang dibantu dapat membantu juga ketika ada dalam kesulitan. Namun, ada juga yang membantu karena terpaksa, sebenarnya tidak ada kesediaan untuk memberi, tetapi karena ada dorongan pihak lain, maka dengan berat hati dan bersungut terpaksa memberi. Alasan-alasan memberi seperti itu, dapat dijumpai dalam berbagai kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam kehidupan beragama. Bahkan dalam gereja sering dijumpai orang memberi karena ada kepentingan tertentu.
Tetapi dalam kehidupan orang Kristen memberi kepada orang lain tidak berdasarkan kepentingan tertentu. Mengapa? Karena bagi orang Kristen memberi, seperti dikatakan Rasul Paulus, adalah “pelayanan kepada orang-orang kudus” (ayat 1). Memberi untuk melayani, dan yang dilayani, yang mana menerima pemberian itu adalah orang-orang kudus. Karena memberi itu pelayanan, maka tidak ada alasan dan motivasi untuk kepentingan terentu. Sebab pelayanan bukan untuk MENCARI sesuatu, melainkan untuk MENYATAKAN apa yang sudah dialami dalam kehidupan ini. Memberi bantuan untuk melayani tidak karena mencari keuntungan, tetapi menyatakan kebaikan yang sudah ada dalam hidup ini yang diberikan oleh Tuhan.
Pemberian sebagai pelayanan bukan saja tidak untuk mencari keuntungan tertentu, tetapi juga pemberian yang berkualitas, bukan pemberian asal-asalan saja. Mengapa? Karana pemberian itu adalah “pelayanan kepada orang-orang kudus”. Yang menerima bantuan dan pelayanan itu adalah “orang-orang kudus”, yaitu orang-orang yang percaya dan beriman kepada Kristus, yang oleh kematian dan kebangkitan-Nya menjadi “bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri” (1 Pet. 2:9). Bangsa yang kudus ini, dan orang-orang kudus ini ada dan hidup dalam jemaat-jemaat Tuhan, termasuk ada di jemaat-jemaat di dalam GKI di Tanah Papua. Karena orang kudus ini adalah kepunyaan Allah, maka ketika mereka menerima pemberian itu mereka harus merasakan ada kebaikan dan kasih serta keadilan Allah di dalam pemberian itu. Dalam GKI di Tanah Papua, kita juga mengenal pemberian sebagai sebuah pelayanan, yang disebut sebagai diakonia. Dalam sidang sinode ke-18 di Waropen sebutan diakonia itu diganti dengan PELAYANAN KASIH DAN KEADILAN, untuk menegaskan bahwa dengan diakonia kita hendak menyatakan kasih dan kebaikan serta keadilan Allah dalam hidup pribadi, keluarga dan jemaat. Pemberian untuk pelayanan bertujuan bukan untuk mencari keuntungan yaitu berkat Allah, melainkan menyatakan kasih, kebaikan dan keadilan Allah yang sudah kita peroleh sebagai kasih karunia Allah dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Karena pemberian itu sebuah pelayanan bagi orang-orang kudus, yang menyatakan kasih dan kebaikan serta keadilan Allah, maka setiap orang yang memberikan bantuan itu patut mempersiapkan diri. Kepada orang Kristen di Korintus Rasul Paulus mengingatkan “supaya kamu benar-benar siap sedia” (ayat 3). Tentu yang harus dipersiapkan tidak semata-mata pemberian yang akan diserahkan menjadi pelayanan kepada orang-orang kudus, melainkan juga hati sebab hati itu yang menentukan kualitas pemberiaan. Dalam rangka mempersiapkan orang Kristen di Korintus, maka seperti kita baca di pasal sebelumnya (8:18 dst), Paulus mengutus Titus dan beberapa orang yang lain dengan tugas, “supaya mereka lebih dahulu mengurus pemberian yang sudah kamu janjikan sebelumnya ”(ayat 5). Ternyata pemberian untuk pelayanan itu harus diurus, supaya tersedia untuk pelayanan. Jangan sampai ketika dibutuhkan untuk pelayanan tidak tersedia. Kita sering kali mengalami kondisi ini. Kita butuh pemberian-pemberian atau persembahan anggota jemaat untuk pelayanan, tetapi ternyata uangnya tidak ada, karena tidak diurus dengan benar. Pelajaran penting yang patut kita perhatikan adalah bahwa pemberian atau persembahan yang diberikan dalam jemaat, entah itu pengucupan syukur, perpuluhan, dan persembahan yang lain, patut diurus dan dikelola dengan benar untuk pelayanan kepada orang-orang kudus, yaitu anggota jemaat.
Hal penting yang patut diperhatikan dalam mengurus pemberian dalam jemaat bukan hanya mengenai administrasi dan tata kelola, tetapi soal hati. Rasul Paulus menyebut pemberian itu “sebagai bukti kemurahan hati” (ayat 5). Pemberian orang Kristen, termasuk pemberian warga GKI bukan saja tidak untuk mencari keuntungan, tetapi juga harus diberikan dalam kerendahan hati, bukan dengan kesombongan dan keangkuhan. Mungkin kita bisa memberi lebih banyak dari orang lain, tetapi hal ini tidak harus membuat kita menganggap lebih hebat dari orang lain dalam hal memberi. Kebiasaan memberi persembahan dan minta nama dibacakan pada warta keungan sudah ada tendensi membanggakan diri dengan persembahan yang diberikan. Apa lagi merasa tersinggung kalau nama lupa dicatat dan diumumkan. Jadi bukan hanya mereka yang menerima bantuan dan pemberian itu orang kudus, tetapi juga orang yang memberi haruslah orang yang hatinya kudus, karena oleh Kristus Yesus hati dan hidupnya sudah dikuduskan. Memberi dalam kerendahan hati adalah tanda bahwa hati yang memberi sudah dikuduskan. Memberi untuk pelayanan adalah memberi dalam kekudusan dan kerendaan hati, karena sadar dan tahu bahwa kehidupan di dalam Kristus adalah hidup untuk melayani. Hanyalah orang yang sudah kudus hatinya dan hidup dalam kerendaan hati akan dapat memberi dalam kerelaan dan bukan karena paksaan.
Hari ini sebagai bagian dari bangsa dan negara orang Kristen, termasuk warga GKI, turut memperingati dan merayakan Hari Kemerdekaan RI yang ke-80. Kemerdekaan kita yang paling mendasar bukan kemerdekaan politik, merdeka dari suatu bangsa penjajah, melainkan kemerdekaan dari dosa dan kejahatan yang menguasai hati dan kehidupan ini. Kalau hati kita masih dikuasai kebencian, permusuhan, kecurigaan dan berlaku jahat bagi orang lain itu tanda kita belum hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya. Kalau ada intoleransi, larangan mendirikan rumah ibadah, dan menghalangi orang beribadah seperti yang marak terjadi di beberapa wilayah RI, itu adalah tanda hati masih dikuasa dosa dan kejahatan. Orang yang masih dikuasai dosa, artinya belum merdeka dari dosa, tidak ada kerendahan hati dan kerelaan untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Korupsi yang sudah membudaya dalam masyarakat kita adalah tanda hati kita belum merdeka dari dosa dan kejahatan. Maka dalam merayakan 80 tahun Indonesia merdeka, marilah kita orang Kristen, secara khusus warga GKI, menunjukkan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara suatu kehidupan yang bebas dari dosa dan kejahatan sebagai bukti bahwa kita sudah sungguh-sungguh merdeka, sebab Yesus sudah merdekakan kita dari dosa dan kejahatan. Marilah kita menjadi teladan kemerdekaan dengan hidup dalam kerendahan hati, saling membatu satu dengan yang lain; saling mengasihi satu terhadap yang lain; dan saling tolong-menolong. Karena kita sudah sungguh-sungguh merdeka dalam Kristus, maka sudah seharusnya pelayanan kasih dan keadilan yang merupakan salah satu amanat dalam GKI, tidak lagi bersifat eksklusif. Pelayanan ini sudah harus menjangkau dan menyentuh kehidupan kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itu marilah kita lebih giat lagi untuk saling membantu dan saling memberi sebagai bukti kerehdahan hati karena kita sudah sungguh-sungguh merdeka di dalam Kristus. Amin! (Penulis: Pdt. DR. Sostenes Sumihe, M. Th)
Belum ada Komentar untuk "MEMBERI DENGAN KEMURAHAN HATI SEBAGAI BENTUK KEBERSAMAAN ( 2 Korintus 9:1-5)"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.