MEMBAYAR NAZAR (IMamat 27:1-34)
Hubungan Allah dengan umat-Nya tidak tergantung pada kehendak atau kemaun umat bagaimana menjalani relasi itu. Dengan kata lain, hubungan Allah dengan umat-Nya tidak berpusat pada umat itu sendiri, melainkan berpusat Allah. Ini yang membedakan relasi Allah dengan manusia di dalam iman Israel dan iman Kristen dengan agama yang lain. Iman Israel dan iman Kristen berciri theosentris, sedangkan iman yang lain: antroposentris atau berpusat pada manusia. Tidak heran kalau dalam hubungan Allah dengan Israel, semua yang dijalani bangsa itu berasal dan disampaikan oleh Allah untuk dijalani oleh umat-Nya. Salah satu yang ditentukan oleh Allah untuk dijalankan umat-Nya adalah nazar. Dalam bacaan hari ini, Imamat 27:1 -34, melalui perantaraan Musa, Allah menetapkan peraturan menyampaikan nazar di hadapan Allah (ayat 1).
Mengapa hubungan Allah dengan umat-Nya, sebagaimana juga tercermin dalam pemberian nazar, bersifat theosentris atau berpusat pada Allah? Bukan berpusat pada umat itu sesuai dengan kehendaknya? Alasan yang paling mendasar adalah, karena semua yang dinazarkan itu adalah “milik Tuhan” (ayat 30), maka Tuhanlah yang menetukan apa yang pantas umat lakukan di hadirat-Nya. Melakukan apa yang diluar ketetuan Tuhan menodai keberadaan sebagai umat Allah, dan ini membuat umat itu tidak berkenaan di hadapan Allah. Itulah sebabnya, pada bagian akhir setelah disampaikan peraturan tentang nazar, ditegaskan, “itulah perintah-perintah yang disampaikan Tuhan kepada Musa di Gunung Sinai untuk orang Israel”(ayat34). Nazar adalah perintah Tuhan bagi umat Israel, dan wajib mereka lakukan sesuai dengan yang Allah kehendaki.
Orang Kristen termasuk warga GKI, sama seperti orang Israel, menghayati hubungan dengan Allah dalam pola pikir yang theosentris, bukan antroposentris. Kita melakukan dan menjalani hidup ini bukan berdasarkan apa yang kita anggap baik dan benar, melainkan apa yang Tuhan kehendaki. Kita memang tidak memberlakukan tradisi nazar sebagaimana orang Israel lakukan, namun demikian apa yang substansial dalam nazar, yaitu kekudusan dan totalitas dalam hubungan dengan Tuhan harus dan wajib menjadi ciri dan budaya dalam relasi kita dengan Tuhan. Sebab, “segala yang dikhususkan itu adalah mahakudus bagi Tuhan” (ayat 28).
Di dalam dan oleh nazar, kualitas hubungan kita dengan Tuhan menjadi nyata. Siapa saja bisa mengatakan bahwa dia punya hubungan dengan Tuhan, namun seperti apa perangai dan kualitas hubungan itu dinampakkan dalam tindakan nazar di hadapan Tuhan, yaitu kekudusan dan totalitas. Semua tindakan nazar ditekankan harus kudus (ayat 9, 30, 32). Bukan hanya kudus, hubungan dengan Tuhan itu juga harus berlangsung dalam totalitas, karena itu ada perhitungaan jumlah pada setiap tindakan nazar, yang “menjadi persembahan kudus bagi Tuhan” (ayat 32). Kekudusan dan totalitas itu patut menjadi sikap dan tindakan iman dari setiap orang Kristen dan secara khusus warga GKI dalam menjalankan hubungan dan peribadahannya di hadapan Allah. Rasul Paulus kepada orang Kristen di Roma menekankan kekudusan dan totalitas tersebut ketika berkata, “oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, suapaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah” (Roma 12:1). Setiap orang yang sudah mengalami kemurahan Allah di dalam Yesus Kristus, hidupnya sudah dikuduskan dan sepenuhnya ada dalam kasih karunia Tuhan. Oleh sebab itu, kekudusan dan totalitas menjalani hidup di dalam persekutuan dan kesatuan dengan Allah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Ini pelajaran penting bagi warga GKI, yang dalam minggu-minggu ini mempersiapkan diri untuk memperingati dan merayakan 69 tahun GKI ada di atas tanah ini. Dalam 69 tahun ini ada banyak hal yang dihadapi oleh gereja ini. Warga GKI pun menghadapi dan bergumul dengan banyak persoalan dalam keluarga, gereja dan masyarakat. Namun demikian, Yesus Kristus, yang menjadi Tuhan dan Kepala gereja ini setia memimpin dan memelihara umat-Nya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya warga GKI menjalani hubungan dengan Tuhan dalam kekudusan dan totalitas.
Tradisi nazar itu, tidak hanya menyentuh aspek teologis, yaitu hubungan dengan Tuhan, melainkan bersentuhan pula dengan kehidupan sosial-kemasyarakatan. Karena itu, dalam nazar diatur juga soal penebusan dan pembebasan yang berlaku pada tahun Yobel (ayat 18). Karena itu, warga GKI sudah harus mengimplementasikan hubungan dan peribadahan dengan Tuhan yang berlangsung dalam kekudusan dan totalitas itu dalam kaitan dengan hidup bermasyarakat. Warga GKI sudah harus memperlihatkan keberadaanya sebagai umat Allah yang kudus, bebas dari segala macam kejahatan. Tetapi juga dalam totalitas bekerja dan berjuang untuk mewujudkan masyarakat Papua yang adil, damai dan sejahtera. Ini sudah menjadi komitmen gereja ini sejak sidang sinode ke-18 yang lalu di Waropen, tahun 2022. Di dalam sidang ini GKI telah menyatakan akan ada di tanah Papua dan dunia menjadi gereja pembawa keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. Mari kita perkuat komitmen kita untuk menjalani misi tersebut dalam kekudusan dan totalitas relasi dengan Tuhan dalam janji penyertaan-Nya sebagaimana diucapkan kepada murid-murid-Nya: “Aku menyertai kamu senatiasa sampai akhir zaman” (Matius 28:20). Amin! (Penulis: Pdt. DR. Sostenes Sumihe, M. Th)
Belum ada Komentar untuk "MEMBAYAR NAZAR (IMamat 27:1-34)"
Posting Komentar
Hai, sahabat DEAR PELANGI ... silahkan memberi komentar sesuai topik dengan bahasa yang sopan.